Saturday, 10 November 2018

APA PERBEDAAN ANTARA KECEBONG DAN KAMPRET?


APA PERBEDAAN ANTARA KECEBONG DAN KAMPRET?
Oleh: Mutho AW*

http://pontianak.tribunnews.com/2018/07/11/hentikan-sebutan-kecebong-kampret


Apa yang akan Anda lakukan jika ada teman nanyain hasil dari dua tambah dua? Apa Anda akan menjawabnya? Anda akan ngakak sambil menendang teman itu? Atau Anda akan memilih respon unik sendiri yang tentu akan sangat sulit saya tuliskan sekarang sebab Anda telat menjawabnya atau saya keburu nulis duluan?
Terserah Anda mau menanggapi seperti apa. Tapi, kalau Anda menjawabnya dengan bilang “dua”, saya bisa memastikan Anda termasuk orang-orang yang kurang ngaca. Anda kurang melakukan refleksi diri, meditasi, merenung, ngasah akal sehat, dan segala daya upaya yang bertujuan untuk mengajegkan diri kalau Anda itu manusia waras. Eh maaf, tidak bermaksud. Ini hanya kesengajaan yang diakui.
Begini, Saudara-saudara, Handai-taulan, Dulur-batur budiman sekalian. Setelah sekian lama saya berlayar, berenang, dan menyelam di lautan media sosial, saya punya asumsi kalau sebagian besar dari kita ini kurang memiliki kepekaan menangkap fenomena atau realitas-konteks yang tangguh. Semisal pertanyaan di atas. Jika Anda mahasiswa, yang nanya mahasiswa, masa mau dijawab? wkwkwk. Bisa saja pertanyaan itu tujuannya ngece, yakan? Kecuali itu, yang nanya orok yang baru mbrojol.
Ada premis begini;
“Segala hal itu tidak terlepas dari konteks yang dipergokinya.”
Pun juga redaksi hadits atau wahyu gusti Alloh yang diturunkan kepada kanjeng Nabi. Contohnya, hadits tentang larangan melukis atau membuat patung. Anda-anda pernah dengar kan? Nah, menurut guru Ngaji saya, konteks dari hadits tersebut sebab kekhawatiran Nabi akan disembahnya lukisan makhluk hidup atau patung yang dibuat. Sebab, pada masa itu orang-orang Arab sana masih banyak yang menyembah berhala. So-jadi, jika konteksnya hari ini? Kayaknya enggak deh. Makanya, sekarang-sekarang banyak tuh santri yang jadi pelukis atau pemahat patung. Teman saya juga ada, namanya Kang Dayat. Mau kenalan?

http://rfwahyudi.blogspot.com/2017/12/menghewankan-manusia.html

Ketangguhan menatap dan menilai konteks, tentu ini berbanding lurus dengan ketajaman dan kejernihan akal sehat. Nahlo, bagaimana akal sehat mau tajam dan jernih sedang sajian medsos yang memang ruang paling besar dan ramai dibanding ruang hidup lain isinya itu hoax melulu? Dan dungunya sebagian besar dari kita itu auto percaya, auto share. Sungguh peradaban yang mundur di tengah kebanggaan akan modernism dan kemajuan teknologi. Masyarakaaaaat!
Negara lain sudah mahir bikin pesawat, silet, jarum jahit karung padi, berdebat soal efisiensi fisika nuklir, bangsa kita masih ribut dan rajin produksi dan menyebarkan hoaks. Weka-weka-weka. Negara lain sudah membikin tentara robo-automathic, kita masih sibuk ngurusin “ini ada dalilnya enggak?”, “eh itu kan enggak diajarin oleh Nabi!”. Lhadhalaah.
Sebab hoaks juga ujaran kebencian yang, naas memang jadi generasi sekarang, auto diamini lalu didakwahkan sebab datang dari kelompoknya yang diyakini sebagai “paling nyurga”, sebagian besar dari kita sangat mudah sekali mencaci, memberikan air garam pada borok sesama bangsanya, mengejek Kiai-Ulama; kita jadi bangsa gampangan, kurang punya kewolesan analisis. Kita gampang baper, gampang sewot, gampang mbentak-mbentak, sampai-sampai nama gusti Alloh jadi simbol bentakan; takbiiir!
Yang paling lucu, bagi saya, ada seorang turunan khabieb yang oleh sebab beda pandangan politik juga mungkin rasa benci yang mensumsum-kulit, sampai melakukan propaganda kalaupun wakil dari pak Jokowi itu adalah malaikat sekalipun jangan sampai dipilih. Mungkin sudah masuk kategori “haram” memilih pak Jokowi. Ckckck. Bagi saya ini lucu. Untung enggak ada pasal penistaan malaikat. Untung deh ya. Kalaupun ada, saya sih enggak bakalan tuh ngelaporin antum, bieeb. Sayah mah woles orangnya. Sayah mah cerdas. Aih!
Wahiya, apa perbedaan antara kecebong dan kampret?


*Penulis adalah Bocah Angon yang lagi Sekolah S2


No comments:

Post a Comment

POLITIK NU ADALAH POLITIK KEBANGSAAN