APA PERBEDAAN ANTARA KECEBONG DAN
KAMPRET?
Oleh: Mutho AW*
Apa yang akan Anda lakukan jika ada teman
nanyain hasil dari dua tambah dua? Apa Anda akan menjawabnya? Anda akan ngakak
sambil menendang teman itu? Atau Anda akan memilih respon unik sendiri yang
tentu akan sangat sulit saya tuliskan sekarang sebab Anda telat menjawabnya atau
saya keburu nulis duluan?
Terserah Anda mau menanggapi seperti apa.
Tapi, kalau Anda menjawabnya dengan bilang “dua”, saya bisa memastikan Anda
termasuk orang-orang yang kurang ngaca. Anda kurang melakukan refleksi diri,
meditasi, merenung, ngasah akal sehat, dan segala daya upaya yang bertujuan
untuk mengajegkan diri kalau Anda itu manusia waras. Eh maaf, tidak bermaksud.
Ini hanya kesengajaan yang diakui.
Begini, Saudara-saudara, Handai-taulan, Dulur-batur
budiman sekalian. Setelah sekian lama saya berlayar, berenang, dan menyelam di
lautan media sosial, saya punya asumsi kalau sebagian besar dari kita ini
kurang memiliki kepekaan menangkap fenomena atau realitas-konteks yang tangguh.
Semisal pertanyaan di atas. Jika Anda mahasiswa, yang nanya mahasiswa, masa mau
dijawab? wkwkwk. Bisa saja pertanyaan itu tujuannya ngece, yakan? Kecuali
itu, yang nanya orok yang baru mbrojol.
Ada premis begini;
“Segala hal itu tidak terlepas dari konteks
yang dipergokinya.”
Pun juga redaksi hadits atau wahyu gusti
Alloh yang diturunkan kepada kanjeng Nabi. Contohnya, hadits tentang larangan
melukis atau membuat patung. Anda-anda pernah dengar kan? Nah, menurut guru
Ngaji saya, konteks dari hadits tersebut sebab kekhawatiran Nabi akan
disembahnya lukisan makhluk hidup atau patung yang dibuat. Sebab, pada masa itu
orang-orang Arab sana masih banyak yang menyembah berhala. So-jadi, jika
konteksnya hari ini? Kayaknya enggak deh. Makanya, sekarang-sekarang banyak tuh
santri yang jadi pelukis atau pemahat patung. Teman saya juga ada, namanya Kang
Dayat. Mau kenalan?
Ketangguhan menatap dan menilai konteks,
tentu ini berbanding lurus dengan ketajaman dan kejernihan akal sehat. Nahlo,
bagaimana akal sehat mau tajam dan jernih sedang sajian medsos yang memang
ruang paling besar dan ramai dibanding ruang hidup lain isinya itu hoax melulu?
Dan dungunya sebagian besar dari kita itu auto percaya, auto share. Sungguh
peradaban yang mundur di tengah kebanggaan akan modernism dan kemajuan
teknologi. Masyarakaaaaat!
Negara lain sudah mahir bikin pesawat,
silet, jarum jahit karung padi, berdebat soal efisiensi fisika nuklir, bangsa
kita masih ribut dan rajin produksi dan menyebarkan hoaks. Weka-weka-weka.
Negara lain sudah membikin tentara robo-automathic, kita masih sibuk ngurusin
“ini ada dalilnya enggak?”, “eh itu kan enggak diajarin oleh Nabi!”.
Lhadhalaah.
Sebab hoaks juga ujaran kebencian yang,
naas memang jadi generasi sekarang, auto diamini lalu didakwahkan sebab datang
dari kelompoknya yang diyakini sebagai “paling nyurga”, sebagian besar dari
kita sangat mudah sekali mencaci, memberikan air garam pada borok sesama
bangsanya, mengejek Kiai-Ulama; kita jadi bangsa gampangan, kurang punya
kewolesan analisis. Kita gampang baper, gampang sewot, gampang mbentak-mbentak,
sampai-sampai nama gusti Alloh jadi simbol bentakan; takbiiir!
Yang paling lucu, bagi saya, ada seorang
turunan khabieb yang oleh sebab beda pandangan politik juga mungkin rasa benci
yang mensumsum-kulit, sampai melakukan propaganda kalaupun wakil dari pak
Jokowi itu adalah malaikat sekalipun jangan sampai dipilih. Mungkin sudah masuk
kategori “haram” memilih pak Jokowi. Ckckck. Bagi saya ini lucu. Untung enggak
ada pasal penistaan malaikat. Untung deh ya. Kalaupun ada, saya sih enggak
bakalan tuh ngelaporin antum, bieeb. Sayah mah woles orangnya. Sayah mah
cerdas. Aih!
Wahiya, apa perbedaan antara kecebong dan
kampret?
*Penulis adalah Bocah
Angon yang lagi Sekolah S2
No comments:
Post a Comment