Wednesday, 14 November 2018

HTI DAN POLITIK SONTOLOYO


HTI DAN POLITIK SONTOLOYO
Oleh : Fathur*


“yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaa”
(Gus dur)
Momentum pemilihan kepala daerah dari mulai kepala desa sampai dengan kepala Negara selalu saja menjadi momentum yang menggegerkan manusia dari yang muda sampai dengan yang tua, dari mulai tukang becak sampai dengan pengangguran.
Perpolitikan Indonesia sekarang ini memasuki suasana yang agak memanas, pasalnya kurang lebih 4-5 Bulan lagi, Indonesia akan melakukan pesta rakyat yang paling besar, yakni Pemilihan Presiden yang calonnya lagi-lagi hanya dua paslon saja.
Dalam jangka waktu yang relatif dekat dalam Pilpres banyak sekali sesuatu yang ‘ujug-ujug’ menarik untuk menjadi sorotan masyarakat Indonesia, seperti halnya istilah “Politik sontoloyo” dan “politik Genderuwo” yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo dalam beberapa Pidatonya.
Menurut Beliau Politik Sontoloyo itu disematkan pada Politisi-Politisi yang dalam Proses politik melakukan segala sesuatu yang Cenderung tidak sehat, tujuannya adalah untuk bisa menyerang lawan politiknya dan untuk mencapai tujuang yang diingininya.  
Di masyarakat “Politik Sontoloyo” itu akan bisa kita lihat secara langsung, contohnya seperti munculnya Politik identitas yang selalu dikampayekan oleh Ormas Islam semacam FPI, MIUMI, MMI dan HTI (sudah dibubarkan). Dengan dalih banyaknya kesenjangan yang terlalu jauh dalam lapisan Masyarakat (terutama Ekonomi), seperti halnya kemiskinan yang ada dimana-mana itu disebabkan pemimpin yang korup dan aturan yang tidak jelas dan tegas dalam menangani sebuah kesalahan dalam system pemerintahan.
Mereka menginginkan adanya sebuah system Islam yang mana segala sesuatunya diatur secara Islami (Syariah). Dalam contoh yang lain semakin banyaknya masyarakat mempertajam perbedaan antara Islam dan Non Islam. Hal demikian bisa kita lihat seperti dalam Pakaian, Makanan, Waralaba, tempat tinggal dan yang lain sebagainya disematkan Label Islam.
Jadi sudah tidak aneh apabila dalam partai Politikpun disematkan Label Islam, sehingga mereka secara langsung sudah mewartakan pada seluruh masyarakat untuk membedakan antara Partai Islam dan partai yang non Islam.


Bagi saya wajahnya islampun belum tentu di dalamnya memang benar islam, sebab berbicara partai politik ujungnya tetap saja untuk kepentingan golongan atau orang-orang tertentu yang terlibat didalamnya, contohnya saja FPI yang mengaku Ormas paling Islam, pimpinan tertingginya malah kesandung kasus Pornografi dengan anggotanya sendiri, Ironi bukan?
Dalam contoh yang lain sewaktu ada kasus pembakaran bendera yang bertuliskan kalimat tauhid yang bagi saya itu adalah bendera HTI, hampir disetiap daerah menggelar acara protes dalam bentuk Demonstrasi. Salah satunya di Kota Cirebon, saya akan sedikit bercerita sewaktu demo tersebut berlangsung.
Waktu aksi “Bela tauhid”  di Kota Cirebon digelar di Alun-alun Kejaksan depan Masjid At-taqwa Kota Cirebon dan dilakukan Ba’da duhur, saya datang bersama kawan-kawan saya untuk melihat, diantaranya 2 orang perempuan. Karena saya butuh Informasi untuk kebutuhan Pers Kampus, maka saya meminta Bantuan kepada kawan-kawan saya untuk membaur dalam masa aksi, saya dan kawan saya yang laki-laki membaur pada masa aksi laki-laki sedang dua orang kawan perempuan saya membaur dengan peserta aksi perempuan.
Sewaktu saya melakukan wawancara dengan beberapa peserta aksi tiba-tiba, ada peserta aksi dedekat saya yang terus memandangi kawan perempuan saya, kemudian tiba-tiba saja dia nyletuk pada temannya yang sedang saya wawancarai “Duh Cantik banget ya cewe itu, panas-panas gini kayanya enak minum Susunya dia” saya sontak kaget dan mendekati peserta aksi itu, “itu kawanku bang, mau tak kenalin?” saya bilang padanya sambil tersenyum, dia salah tingkah dan hanya diam saja. Sebuah Ironi dalam aksi bela Kalimat tauhid katanya, malah begitu didalamnya.
Apalagi orasi-orasi yang ada dalam aksi tersebut banyak mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar seperti halnya “Pemerintah bajingan, pemerintah bangsat” sungguh sangat tidak pantas bukan? Silahkan Nilai sendiri.
Dalam momentum Pilpres ini kita dipaksa untuk memutar kembali cerita tentang penangkapan Ahok yang telah divonis menistakan Agama Islam lewat komentarnya terkait Surat Al-maidah, silahkan kawan-kawan lihat sendiri yang katanya bela islam tetap saja kan motifnya adalah kursi Gubernur DKI Jakarta. Sekarang polarisasi Gerakan yang dilakukan oleh mereka hampir sama yakni menggunakan Agama Sebagai Alat untuk bisa mendongkrak suara, sehingga mereka bisa mendapatkan Singgasana Kekuasaan.
Nah kawan-kawan, terlepas daripada itu semua mari kita bersama-sama berfikir dan menyaring setiap hal yang datang pada kita, sebab hari ini kita tengah berada dalam pusaran kepentingan dari berbagai pihak, baik itu yang bernafas Nasionalis, Demokratis ataupun Islamis. Tapi bukan juga untuk menutup mata terhadap Politik, sebab kalo kita tidak ikut berkontribusi dalam kontestasi Politik maka kita jangan harap bahwa kita akan bisa ikut berkontribusi untuk perubahan Bangsa yang lebih baik.
Meminjam Kata-kata dari Nusron Wahid yakni “Kalo orang benar mengalah, maka jangan kaget apabila orang gila yang menang dan berkuasa” maka kurang lebih kitapun harus ikut dalam menjaga stabilitas dan kemajuan NKRI. Demikian semoga bermanfaat.

*Penulis adalah bocah yang menjadi muridnya bocah angon

No comments:

Post a Comment

POLITIK NU ADALAH POLITIK KEBANGSAAN